Halaman

Rabu, 12 Juni 2013

BATU KODOK  VS TANJUNG KODOK 


Batu Kodok dan Tanjung Kodok - adalah nama dua wilayah di tanah air yang keduanya mengusung kata "Kodok" dalam penamaannya. Bila ditelusuri dari sisi Toponimi (asal usul nama), kelihatannya di kedua wilayah ini dipastikan menjadi habitat hidup hewan amphibi yang hidup di dua alam - Kodok.
Batu Kodok berada di wilayah Kelurahan Tanjung Ketapang - Toboali, Kabupaten Bangka Selatan - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan Tanjung Kodok berada di kabupaten Lamongan - Jawa Timur. Mengapa saya tertarik mengusung keduanya menjadi sebuah tulisan sederhana - karena nasib keduanya yang sangat berbeda.

Lho - kok beda? bedanya dimana?? beda nasib kodok-kodok nya?? saya pikir tidak. karena kelihatannya para kodok yang menjadi sumber inspirasi penamaan lokasi sudah lama bermigrasi bahkan mungkin sudah a pindah "alam" alias punah dari lokasi tersebut. lantas??? bedanya di hasil kebijakan...lho apa hubungann ya?? apakah nasib kodok bisa mempengaruhi kebijakan??? saya jawab "bisa". lha??? . wong manusia aja sudah banyak begitu, gimana caranya kodok bisa mempengaruhi kebijakan suatu pemerintahan? Nah itu dia..
Begini, berdasarkan pengalaman saya 3 tahun yang lalu ketika memenuhi undangan dari Depdagri - yang dulu embahnya kebijakan pemda. Setelah penerbangan dari pangkalpinang-jakarta - surabaya - ternyata saya harus melakukan perjalanan sekian puluh kilometer lagi ke Kabupaten Lamongan...jadilah malam hari saya menyewa mobil krn naek kendaraan umum lebih beresiko (habis 500 ribu!!!) - panitianya payah - tidak menyediakan kendaraan untuk tamu yang diundang - tibalah saya di lokasi penyelenggaraan - Tanjung Kodok Beach Resort -- waah ..lumayan bagus...bangunan dan pelayanannya. Karena sudah malam dan acara sudah dimulai, saya tidak sempat melihat-lihat lingkungan sekitar.

Besok paginya barulah saya bisa melihat lebih jelas seperti apa view yang dijual oleh resort Tanjung Kodok - saya penasaran karena begitu hebohnya pemda setempat bercerita tentang keindahan Tanjung Kodok - sampai2 menunjuk beberapa calon investor dari luar negeri yang katanya akan berinvestasi di Tanjung Kodok....Apa hasilnya hasil pengamatan saya??? surprise karena ternyata berdasarkan penglihatan mata saya yg minus dan silindris - view yang ditawarkan biasa-biasa saja - maaf. kalau di daerah saya tempat ini bakalan dijamin sepi pengunjung ...
Pemandangan di Bangka Selatan

Bangka Selatan

Pemandangan dari Kamar Resort Tanjung Kodok - Lamongan

Resort Tanjung kodok - Lamongan

Resort Tanjung Kodok - Lamongan

View dari Restoran Resort Tanjung Kodok - Lamongan

Patung Kodok Resort Tanjung Kodok - Lamongan

Sudut Resort Tanjung Kodok - Lamongan

Kodok Resort

Kodok Resort


View Bangka Selatan


View Bangka Selatan

View Bangka Selatan

View Bangka Selatan

View Pantai Bangka
View Bangka
View Pantai - Bangka
View Batu Granit - Bangka

View Pantai Bangka

Saya jadi ingat alangkah indahnya alam tempat asal saya Kepulauan Bangka Belitung...tapi alangkah jauh perbedaannya - ketika alam  yang biasa2 saja ketika bisa dikelola dengan serius dan matang justru memiliki nilai berpuluh lipat ketimbang alam Babel yang katanya berkelas dunia itu - pasir putih - laut hijau tosca - bebatuan granit yang luar biasa, justru sekarang yang terjadi adalah pelecehan atas pemberian Tuhan yang begitu indah itu...pantai dan lautnya diobrak-abrik untuk mencari batu mineral yang bernama timah...dan itulah yang terjadi pada Batu Kodok - Tanjung Ketapang Kabupaten Bangka Selatan.

Tidak usah turis atau investor yang datang, nelayan yang selama bergenerasi hidup di wilayah itupun harus gigit jari - dan semakin pupus harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik ketika tanah dan bumi mereka diobrak-abrik - sementara meereka cuma dapat menonton atau kalaupun ada hasilnya ya ...sisa--sisa yang tidak sampai sepersekian dari keuntungan yang dibawa penambang dari luar berikut pemodalnya yang duduk ongkang-ongkang kaki sambil berjudi di singapura, hongkong, atau jakarta sana....urusan masyarakat asli mati kelaparan atau keturunan mereka termiskinkan - bukan urusan - itu kan urusan negara - pemerintah!!....alangkah lemahnya pemerintahan kita ... apa kerja para petinggi dan birokrat2 itu??apa kerja dari para tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang duduk di legislatif??? ...
cuma suara sepi angin menderu deru di pantai - tanpa suara kong...kang...kong...kang...kong...karena kalah dengan suara yang maha dahsyat berjudul KONG KA LI KONG......




Rabu, 08 Mei 2013

Orang Bangka di awal abad ke-19

  Beberapa tulisan dibawah mendeskripsikan tentang Orang Bangka di awal  abad ke -19

Pada tahun 1803, ketika pejabat kolonial Belanda  J.Van Bogaart mengunjungi Bangka pada saat masih di bawah kekuasaan Sultan Palembang, ia mendapatkan bahwa ada empat kelompok ("kasta") di Bangka, yang masing-masing memiliki pimpinannya sendiri, yaitu orang Tionghoa, orang Melayu (termasuk berbagai etnis dari Nusantara), orang Bukit (selanjutnya disebut Orang Gunung (goonoong), atau Orang Darat), dan Orang Laut. Orang Melayu kebanyakan aktif dalam perdagangan, dan menurut Van Den Bogaart, mengeksploitasi Orang Gunung yang adalah "kuda beban" di pulau itu, hidup dalam kelompok-kelompok yang terisolasi, mengolah umbi-umbian atau sepetak ladang, menebang kayu, membuat arang, mengangkut timah atau sebagai pemikul barang orang-orang penting yang sedang melakukan perjalanan. Di dekat pertambangan Tionghoa, biasanya terdapat perkampungan Orang Gunung atau terkadang Orang Melayu; laki-laki membersihkan lokasi tambang dan menyediakan arang untuk pertambangan, sementara yang perempuan menjual pakaian, buah-buahan dan makanan kecil kepada para penambang.

Horsfield (1813) memberi sebuah laporan menggambarkan penduduk asli Bangka (tidak termasuk "Orang Melayu") terdiri dari dua kelompok: Orang Laut - juga disebut Sekak (kebanyakan tulisan abad ke-19 menulisnya sebagai "Sekah"; ini mungkin berhubungan dengan kata Melayu untuk orang pribumi asli - sakai - atau mungkin sebutan untuk sebuah beting di muara sebuah sungai, di mana orang-orang ini berkumpul) yang tinggal di atas perahu dekat pantai, mencari nafkah sebagai nelayan dan perompak kecil. Di area dekat kepulauan Riau mereka membentuk kelompok inti pendukung bersenjata Sultan johor. Secara etnis, mereka mungkin tidak homogen, gambaran umumnya adalah hidup di atas perahu, dan beberapa di antaranya kawin dengan orang Tionghoa. Di Bangka sendiri jumlah mereka tidak pernah mencapai lebih dari beberapa ratus orang. 

Ada satu masa di abad ke -19, Belanda benar-benar mempekerjakan mereka melawan perompak lain dan melawan penyelundup. Ini tidak hanya terjadi di Bangka tetapi juga di Belitung, dimana Orang Sekak lebih banyak jumlahnya dan lebih terorganisir (mungkin mereka pindah ke Belitung ketika Bangka berada di bawah pengawasan  Eropa). Di tahun 1890-an, kelompok-kelompok kecil terdiri dari kira-kira selusin orang atau keluarga, tidak satupun Muslim, hidup di pantai timur Bangka. Menjelang abad ke-20, seluruh kelompok ini kecuali beberapa diantaranya menghilang, atau paling tidak pindah ke sebuah kehidupan yang mantap di darat. 

Yang lain, kelompok lebih besar, Orang Gunung atau Orang Darat, yaitu peladang yang berpindah-pindah, atau pengumpul hasil hutan, yang setengah mengembara, yang menurut laporan Horsfield (1813) masih sedikit dipengaruhi oleh Islam. Makanan mereka terdiri dari beras merah gunung yang dimasak, sayuran asin atau buah-buahan dan cabe hutan. Hanya mereka yang tinggal dekat pantai sering makan ikan; di gunung, madu tersedia untuk dikonsumsi dan pemburuan rusa dilakukan. Pakaian mereka dibuat dari kulit kayu dan jika mereka tinggal dekat kota-kota pasar, mereka mungkin menggunakan pakaian Melayu yang lusuh. Bahasa mereka adalah satu variasi dari Bahasa Melayu. Gambaran Horsfield tentang pertanian mereka cocok dengan peladang tebang dan bakar atau petani ladang (swah kering), yang di Indonesia, paling tidak selama musim tanam tinggal atau berada di sekitar lahan kebun. Horsfield mengatakan bahwa di seluruh Bangka hampir tidak ada "perkampungan".  

(sumber: Timah Bangka dan Lada Mentok, Mary F.Sumers Heidhues)


Penganan Pelite

Resep Khas Muntok

Penganan Pelite

(Kue ini merupakan kegemaran Bung Karno ketika beliau diasingkan di Pulau Bangka, disajikan untuk sarapan atau sebagai penganan sore hari

Bahan :

  • 500 gram tepung beras
  • 500 gram gula pasir
  • 40 lembar daun pandan yg besar
  • 1 butir kelapa tua [2000 cc santan] dan sedikit garam.

Caranya
  • Tepung beras dihancurkan terlebih dahulu dengan sedikit air. 
  • Daun pandan dibuat seperti sampan, gula dimasukan ke dalam daun pandan kira-kira 1 sendok makan
  • Tepung beras yg sudah dihancurkan/dibasahi dengan air tadi diaduk dengan santan sampai menyatu. 
  • Untuk sementara jerangkan kukusan terlebih dahulu sampai airnya mendidih
  • Masukan adonan tadi ke dalam daun pandan yang sudah diisi dengan gula tadi, dan segera dikukus. 
  • Kukus kira2 sampai sepuluh menit

Minggu, 28 April 2013

KHASIAT IKAN GABUS

 
Protein Ikan: ternyata ikan Gabus (chana striata) memiliki jumlah protein lebih banyak (25,2%) dibandingkan ikan Nila (18,7%), Belida (16,5%), Mas (16,0%), Seluang (10,0%) atau Lele (7,8%). Ibu-ibu hamil suku Banjar dan suku Dayak di Kalimantan Selatan pasca melahirkan menyantap ikan gabus (haruan) yang dikukus bersama nasi dapat mempercepat proses pemulihan setelah melahirkan. Sementara di pelosok Jambi dan Riau, serta Makkasar - nasi kukus gabus (haruan) diberikan kepada anak laki-laki pasca sunat untuk mempercepat penyembuhan luka sayat sunat. (sumber majalah Trubus).